VISI MISI
terdepan dalam prestasi
Kamis, 22 Maret 2012
Kamis, 08 Maret 2012
Selasa, 06 Maret 2012
SISTEM PENDIDIKAN AL -AZHAR
Pendidikan Ponpes Al-Azhar
Pondok Pesantren Al-Azhar (PPA) menganut sistem pendidikan terintegrasi yang merupakan perpaduan dari sistem salaf (tradisional) dan modern. Hal ini tak lepas dari kultur pesantren yang terkenal dengan prinsip المحافظة علي القديم الصالح والأخد علي الجديد الأصلح (memelihara nilai lama yang baik, dan mengadopsi nilai baru yang lebih baik). Tidak hanya itu, PPA juga mengadopsi sejumlah pola pendidikan yang ada di luar negeri. Seperti kajian kitab kuning yang tidak hanya terfokus pada disiplin ilmu fiqh, nahwu/sharaf, dan ilmu kalam. Tapi juga meningkatkan intensitas kajian tafsir dan hadits dan perangkatnya (ilmu hadits, ushul fiqh, ilmu tafsir, dll).
Secara garis besar kegiatan pendidikan di PPA terbagi menjadi empat. Yaitu, (a) pengajian kitab kuning (كتب التراث), (b) madrasah diniyah (madin), (c) sekolah formal MTs (Madrasah Tsanawiyah) dan MA (Madrasah Aliyah), dan (d) program intensif bahasa Arab.
DAFTAR ISI
- Pengajian Kitab Sorogan/Wetonan
- Madrasah Diniyah
- Tahfidzul Quran
- Pendidikan Formal
- Membaca Qu’an Tartil
- Program Intensif Bahasa Arab
- Ekstra Kurikuler Pesantren
- Ekstra Kurikuler Sekolah Formal
- Biaya Pendaftaran
Pengajian kitab kuning alias kitab klasik menjadi ciri khas Pondok Pesantren Al-Azhar Jombang. Santri yang sudah lulus Wustho II, apalagi Ulya III, hampir dapat dipastikan mampu membaca kitab kuning. Pengajian kitab kuning dilakukan dengan dua cara. Yaitu, (a) dengan sistem sorogan atau wetonan/bandongan dan (b) sistem klasikal di madrasah diniyah (madin).
Adapaun kitab yang dibaca oleh Dewan Pengasuh adalah Kitab Al Umm, Shahih Bukhari, Tafsir Jalalain, Muhadzdzab, Fathul Wahhab, Iqna’, dll.
Berikut jadwal kitab-kitab klasik yang dibaca dalam pengajian sorogan/wetonan oleh Dewan Pengasuh untuk periode tahun 2011/2012.
Madrasah Diniyah atau madin adalah program yang wajib diikuti oleh semua santri baik yang ikut program tahfidzul Quran atau siswa sekolah formal.
Madrasah Diniyah (Madin) Al-Azhar memiliki beberapa jenjang kelas. Yaitu, I’dad I, I’dad II, Ula I, Ula II, Wustho I, Wustho II, Ulya I, Ulya II dan Ulya III.
Kelas I’dad I sampai Ula II kira-kira sama dengan madrasah ibtidaiyah.
Kelas Wustho I dan II sama dengan madrasah diniyah tsanawiyah (SLTP.)
Kelas Ulya I, II dan III sama dengan madrasah diniyah aliyah (tingkat SLTA). Nantinya, akan ada program ma’had aly yang levelnya sama dengan madrasah diniyah tingkat universitas.
Kelas Wustho I dan II sama dengan madrasah diniyah tsanawiyah (SLTP.)
Kelas Ulya I, II dan III sama dengan madrasah diniyah aliyah (tingkat SLTA). Nantinya, akan ada program ma’had aly yang levelnya sama dengan madrasah diniyah tingkat universitas.
Program tahfidzul Quran atau menghafal Al-Quran merupakan program baru. Saat ini, program ini khusus dibuka untuk santri putri. Kami sedang dalam proses menyiapkan program tersebut untuk santri putra.
Peserta program tahfidz tetap harus mengikuti program madrasah diniyah (madin), namun diberi kebebasan untuk memilih apakah akan mengikuti program pendidikan formal atau tidak.
PPA memiliki lembaga pendidikan formal tingkat SLTP dan SLTA yaitu MTs Al-Azhar Jombang dan MA Al-Azhar Jombang. Masing-masing memiliki situs resmi di alamat berikut:. Silahkan kunjungi kedua alamat tersebut untuk info lebih detail.
Kemampuan membaca Al-Quran bit-tartil dengan baik dan benar menurut standar yang diakui adalah sangat penting. Untuk melatih dan meningkatkan kemampuan ini, santri dilatih setiap hari setelah salat maghrib berjamaah. Untuk meningkatkan kemampuan muallim (tenaga pengajar), PPA melatih mereka seminggu sekali dengan mendatangkan tenaga muallim lulusan PIQ (Pesantren Ilmu Al-Quran) KH. Bashori Alwi, Singosari.
Gramatika bahasa Arab yakni ilmu nahwu dan sharaf dipelajari di madrasah diniyah sejak Ula I secara intensif. Begitu juga, kemampuan membaca kitab diasah melalui musyawarah baca kitab dan pengajian sorogan/wetonan kitab Muhadzdzab, Fathul Wahhab, Iqna’ bagi santri kelas Wustho I ke atas.
Namun, intensifikasi bahasa Arab modern tetap dirasa perlu. Karena itu, program bahasa Arab diadakan secara rutin setiap hari dengan penekanan pada muhawarah (conversation).
1. Musyawarah kitab Fathul Wahhab, Muhadzdzab, dan Iqna’ bagi santri kelas Wustho I ke atas madrasah diniyah (madin) (dua hari sekali).
2. Pengajian Al Quran secara tartil (setiap hari).
3. Program seni pidato/khitobah (setiap dua minggu sekali).
4. Program halaqah mentoring
5. Pidato/drama bahasa Arab (sebulan sekali)
6. Menulis di mading dan buletin SANTRI
2. Pengajian Al Quran secara tartil (setiap hari).
3. Program seni pidato/khitobah (setiap dua minggu sekali).
4. Program halaqah mentoring
5. Pidato/drama bahasa Arab (sebulan sekali)
6. Menulis di mading dan buletin SANTRI
7. Menulis setiap minggu di blog masing-masing (saat ini khusus untuk siswa madin kelas Ulya I & II).
1. Karate
2. Olahraga meliputi futsal, volley ball, tenis meja, badminton.
3. Pramuka.
4. OSIS
5. Menulis di mading sekolah dan buletin SISWA.
2. Olahraga meliputi futsal, volley ball, tenis meja, badminton.
3. Pramuka.
4. OSIS
5. Menulis di mading sekolah dan buletin SISWA.
CATATAN:
Seluruh kegiatan di atas harus diikuti oleh seluruh siswa dan santri. Di PPA santri harus menjadi siswa, dan siswa harus menjadi santri. Artinya, siswa sekolah formal tidak boleh hanya sekolah formal. Dia harus sekaligus jadi santri dan mengikuti seluruh program pesantren termasuk madin, pengajian pengasuh dll.
Pondok Pesantren Al-Azhar Putra dan Putri dikenal di Jombang Raya sebagai pesantren yang berkualitas tinggi tapi dengan biaya sangat terjangkau untuk semua kalangan. Hanya dengan Rp. 300.000 Anda dapat masuk ke Ponpes Al-Azhar. Biaya tersebut sudah termasuk Uang makan..tiga kali sehari, ..spp dan kepondokan komplit..
Al AZHAR TEMPAT ANAK BERPRESTASI….JUARA MTQ NASIONAL..
Senin, 05 Maret 2012
PROGRAM SAFARI KHOTMIL QUR'AN
ORGANISASI SISWA INTRA SEKOLAH
MADRASAH TSANAWIYAH “AL-AZHAR”
Tembelang Senden Peterongan Jombang Telp. 0321. 7424589
Nomor : 010/OSIS AZ/III/2012
Lampiran : Satu bendel
Perihal : MOHON KESEDIAAN MENJADI TUAN RUMAH
Kepada Yang Terhormat
Bapak/Ibu : __________________________
Di_
Tempat
Asslamu’alaikum Wr. Wb.
Salam silaturrahim disampaikan semoga kita senantiasa dalam lindungan Allah SWT dan sukses dalam melaksanakan aktivitas keseharian. Amin…
Selanjutnya dalam rangka Mensyaiarkan Agama Allah, kami pengurus OSIS Madrasah Tsanawiyah “Al-Azhar” Tembelang peterongan Jombang bermaksud mengadakan safari Khotmil Qur’an di Masjid, instansi, Rumah-Rumah, simpatisan dan masyarakat Umum secara bergiliran.
Maka demi terlaksananya kegiatan tersebut kami memohon dengan hormat atas kesediaan Bapak Ta’Mir Masjid untuk berkenan menjadi Tuan Rumah pada :
Hari / Tanggal : ……………………
Jam : 12.00 s/d 18.30
Tempat : ……………………
Acara : Khotmil Qur’an
Demikian permohonan ini dibuat, mendahului atas kesediaan Bapak/Ibu, kami menyampaikan banyak terima kasih semoga amal baik BapakTa’Mir diterima oleh Allah SWT. “Jazaakumullaha Khoiron Katsiro”
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Peterongan, 6 Maret 2012
Pengurus Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS)
MTs. “Al-Azhar” Periode 2011 -2012
Ketua OSIS
Tebora Erik Estrada
|
Sie. Keagamaan
Mazad Barokatul M
|
Mengetahui,
Kepala Madrasah MTs. “Al-Azhar”
Zainal Abidin, S.Pd
DISKRIPSI KEGIATAN SAFARI KHATMIL QUR’AN
ORGANISASI SISWA INTRA SEKOLAH MTs. “AL-AZHAR”
TEMBELANG SENDEN PETERONGAN JOMBANG
A. Nama Kegiatan
Kegiatan ini bernama “Safari Ramadlan OSIS MTs. Al-Azhar Tembelang Peterongan ”
B. Tema Kegiatan
Kegiatan ini bernama “ Mensyiarkan Agama ALLAH. SWT dengan Alunan ayat-ayat suci Al-Qur’an”
C. Tujuan dan Target Kegiatan
1. Menumbuh kembangkan sikap cinta kepada Al-Quran bagi generasi muda Muslim Khususnya dan masyarakat pada umumnya.
2. Sebagai media silaturrahim antara pengurus OSIS dan Dewan Guru dengan Simpatisan (Donatur) Khususnya serta masyarakat pada umumnya.
3. Meningkatkan kualitas dan kuantitas bacaan Al-Qur’an Siswa MTs. Al-Azhar
4. Terjalinnya hubungan kekeluargaan yang semakin erat antara Siswa, Guru, Simpatisan dan Masyarakat.
5. Sebagai media dakwah untuk mengenalkan Al-Quran kepada Masyarakat.
D. Bentuk Kegiatan
1. Khataman Al-Qur’an.
2. Shalat Magrib Berjamaah
3. Dll.
E. Waktu dan Tempat Kegiatan
Kegiatan ini dilaksanakan insya Allah pada :
Waktu : Disesuaikan Dengan Tuan Rumah yang akan ditempati.
Jam : 12 s/d Selesai
Tempat : Masjid, Instansi atau Kediaman Simpatisan
Catatan : Adapun jam dan tempat pelaksanaan kegiatan sesuai dengan permintaan Tuan Rumah dengan mengisi tanggal dan hari yang telah disediakan.
F. Pelaksana dan Peserta Kegiatan
Kegiatan safari Khatmil qur’an ini dilaksanakan dan diikuti oleh Warga OSIS MTs. Al-Azhar, Dewan Guru serta Tuan Rumah.
G. Penutup
Demikian Usulan ini kami buat, semoga amal baik kita diterima oleh Allah SWT. Amin…
LAMPIRAN SURAT KESEDIAAN
Bismillahirrahmanirrahim
Kami yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : ………………………………..
Jabatan : ………………………………..
Alamat : ………………………………..
No. Telp. : ………………………………..
Dengan ini menyatakan kesediaan untuk menjadi Tuan Rumah Safari Khotmil Qur’an. Organisasi Sisw a Intra Sekolah MTs. Al-Azhar Tembelang Peterongan Jombang. Pada hari : ………… tanggal ……….. 2011.
Demikian surat tanda kesediaan ini kami buat, semoga kegiatan tersebut dapat terlaksana dengan baik.
Jombang, ……. … , ………… 2012.
Tertanda,
( ……………………………. )
Bagi Yang berminat mengundang kami silakan HUB nomer kontak yang telah tersdia..
Minggu, 04 Maret 2012
Pendidikan IMpian
BY ZAINAL ABIDIN
A. Latar
Belakang Masalah
Tak
seorang pun dapat membantah bahwa pendidik berada di garda depan dalam upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka telah melahirkan banyak dokter, insinyur,
menteri, bahkan presiden. Tidak heran apabila pendidik dielu-elukan sebagai “Pahlawan
tanpa tanda jasa”. Namun, banyak kalangan menilai, kesejahteraan guru belum
sepadan dengan gelar luhur dan mulia yang disandangnya.
Zaman
memang telah berubah. Pergeseran nilai menyergap di segenap lapis dan lini
kehidupan masyarakat. Nilai-nilai keluhuran budi dan cerahnya akal budi
(nyaris) luntur tergerus oleh derasnya arus modernisasi dan globalisasi yang
cenderung memanjakan nilai konsumtivisme, materialisme, dan hedonisme.
Banyak orang yang makin cuek dan masa bodoh terhadap keagungan nilai kejujuran,
keuletan, atau kebersahajaan. Sukses seseorang pun semata-mata dinilai dari
kemampuannya menumpuk harta, tanpa memedulikan dari mana harta itu diperoleh.[1]
Dalam
kondisi zaman yang makin memberhalakan gebyar duniawi semacam itu, profesi
pendidik pun makin tidak dilirik dan diminati generasi muda. Secara sosial,
pamor pendidik pun semakin redup. Kalau hanya mengandalkan penghasilannya
sebagai pendidik/guru, hampir mustahil seorang guru bisa hidup layak di
tengah-tengah kehidupan masyarakat yang kian gencar memanjakan nafsu
keduniawian. Jangan heran apabila banyak guru/pendidik yang terpaksa bekerja
sampingan jadi tukang ojek, penjual rokok ketengan, atau calo, sekadar untuk
bisa mengikuti “ombyaking zaman”.
Pendidikan
Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,
kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan[2]
Tujuan
tersebut berkeinginan menjadi manusia Indonesia seutuhnya yang sempurna,
bukan merupakan tugas yang gampang untuk dilakukan, atau bukan pula tugas yang
harus diabaikan karena tidak mungkin. Tujuan tersebut merupakan tantangan bagi
dunia pendidikan, khususnya guru yang menjadi ujung tombak, yang senantiasa
bersentuhan langsung dengan peserta didik. Namun tantangan dunia pendidikan
tersebut terbengkalai dalam belasan tahun, ibaratnya hanya sebatas selogan,
visi dan misi yang tidak pernah tercapai, kemana arah perjalanan pun tidak
begitu jelas, kebikajan selalu berganti hampir dalam setiap pergantian para
birokrat di tingkat pusat. Pendidik/Guru hanya dianggap pekerja yang dituntut
keikhlasannya karena tidak diimbangi dengan pasilitas yang memadai, dalam
berbagai ilustrasi guru digabarkan sosok berpenampilan tidak lebih dari
sederhana, kumal, miskin bahkan sering diperolokan.
Enam
belas tahun berlalu baru ada pengakuan secara yuridis bahwa : Guru adalah
pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah.
Namun
pengakuan sebagai professional belum dapat dirasakan oleh para pendidik secara
menyeluruh, syarat dan ketentuan berlaku bagi guru yang ingin bersertifikat
professional, karena hanya dengan cara tersebut adanya penghargaan yang formal.
Berbagai
upaya dilakukan oleh para pendidik, dengan cara penyetaraan pendidikan,
pendidikan dan pelatihan, bergabung dalam forum ilmiah, mengikuti seminar,
kursus, dll, demi satu tujuan yaitu menjadi pendidik yang professional, yang
memiliki empat kompetensi pendidik yaitu Kompetensi Kepribadian, Kompetensi
Paedagogik, Kompetensi Profesional dan Kompetensi Sosial. Tentunya itu
menjadi langkah awal yang baik dalam dunia pendidikan, hingga akhirnya guru
mampu menjadi tenaga pendidik yang professional dan ideal di era global.
Untuk
itulah makalah ini kami susun sebagai bahan kajian khususnya bagi kelompok kami
umumnya bagi para pembaca, sebagai guru kami harus mampu mengghadapi tantangan
dunia pendidikan yang makin mengglobal.
B. Rumusan
Masalah
Dari latar belakang masalah yang diuraikan di atas maka
kami akan mengkaji hal-hal berikut :
1.
Bagaimana menjadi Pendidik Professional dan Ideal?
2.
Upaya apa yang harus dilakukan untuk menjadi Pendidik
yang professional dan ideal di era global?
3.
Bagaimana Kualifikasi Kompetensi Profesional Pendidik
Itu?
4.
Apa saja Tantangan Yang Di Hadapi Pendidik Ideal?
C. Tujuan Pembahasan
Dengan
rumusan masalah yang ada maka kami akan mengemukakan beberapa tujuan dari
makalah ini.
1.
Untuk Mendeskripsikan Pendidik Yang Professional dan Ideal
2.
Untuk Mengetahui Upaya apa yang harus dilakukan untuk
menjadi Pendidik yang professional dan ideal di era global
3.
Untuk mengetahui Bagaimana Kualifikasi Kompetensi
Profesional Pendidik
4.
Untuk mengetahui Apa saja Tantangan Yang Di Hadapi
Pendidik Ideal.
BAB
II
PENDIDIK
(Profil
Pendidik Ideal Masa Depan: Tantangan Dan Kualifikasinya)
A.
Profil
Pendidik Professional dan Ideal
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, guru/pendidik
diartikan sebagai orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya) mengajar. Dari
segi bahasa, pendidik adalah orang yang mendidik. Pengertian ini memberi kesan,
bahwa pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik.
Dalam bahasa Inggris dijumpai beberapa kata yang berdekatan artinya dengan
pendidik. Kata tersebut seperti teacher yang artinya guru atau pengajar dan
tutor yang berarti guru pribadi atau guru yang mengajar di rumah.[3]
Dalam bahasa Arab dijumpai kata ustadz, mudarris,
mu’allim, dan mu’addib. Kata ustadz jamaknya asatidz yang berarti teacher
(guru), profesor (gelar akademik), jenjang dibidang intelektual, pelatih, dan
penyair. Adapun kata mudarris berari teacher (guru), instruktur (pelatih),
lecturer (dosen), Selanjutnya kata muallim yang berarti teacher (guru), trainer
(pemandu), dan instructor (pelatih). Sedangkan kata mu’addib berarti educator
pendidik atau teacher in Koranic
School (guru dalam
lembaga pendidikan Al-Qur’an).[4]
Perbedaan kata tersebut menunjukkan adanya perbedaan
ruang gerak dan lingkungan di mana pengetahuan dan keterampilan diberikan. Jika
menyebut sekolah maka gurunya adalah teacher, jika di perguruan tinggi berari
lecturer, jika di rumah disebut tutor. Sedangkan di tempat-tempat pelatihan
dinamakan instruktur atau trainer dan pada lembaga agama disebut educator.
Secara terminologis pendidik adalah siapa saja yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam Islam orang yang
bertanggung jawab dalam pendidikan adalah orang tua (ayah-ibu) anak didik.
Tanggung jawab tersebut sekurang-kurangnya disebabkan oleh dua hal: pertama ;
karena kodrat, yakni kedua orang tua ditakdirkan bertanggung jawab mendidik
anaknya. Kedua; karena kepentingan orang tua, yaitu orang tua berkepentingan
terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah sukses orang
tuanya juga.
Sesuai dengan UU RI No. 14 Tahun 2005 bahwa seorang
pendidik dituntut untuk memiliki Kompetensi, maksudnya adalah seperangkat
pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan
dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Dalam
kompetensi pedagogik yaitu kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik.
Kompetensi kepribadian yaitu kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak
mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi
profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan
mendalam. Kompetensi sosial yaitu kemampuan guru untuk berkomunikasi dan
berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru,
orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.[5]
Kompetensi tersebut memegang peranan penting dalam pembentukan seorang
guru professional dan ideal yang menjadi tuntutan pada saat ini untuk
mengimbangi perubahan jaman yang semakin modern.
Guru Profesional adalah guru yang mengenal tentang dirinya. Yaitu bahwa
dirinya adalah pribadi yang dipanggil untuk mendampingi peserta didik
untuk/dalam belajar. guru dituntut untuk mencari tahu terus-menerus bagaimana
seharusnya peserta didik itu belajar. Maka apabila ada kegagalan peserta didik,
guru terpanggil untuk menemukan penyebab kegagalan dan mencari jalan keluar
bersama dengan peserta didik; bukan mendiamkannya atau malahan menyalahkannya.
Guru memegang peranan yang sangat penting dan
strategis dalam upaya membentuk watak bangsa dan mengembangkan potensi siswa
dalam kerangka pembangunan pendidikan di Indonesia. Tampaknya kehadiran guru
hingga saat ini bahkan sampai akhir hayat nanti tidak akan pernah dapat
digantikan oleh yang lain, terlebih pada masyarakat Indonesia yang
multikultural dan multibudaya, kehadiran teknologi tidak dapat menggantikan
tugas-tugas guru yang cukup kompleks dan unik.
Oleh sebab itu, diperlukan guru yang memiliki
kemampuan yang potensial untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dan
diharapkan secara berkesinambungan mereka dapat meningkatkan kompetensinya,
baik kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, maupun professional.
Guru Ideal menurut Prof Herawati Susilo MSc PhD,
pakar pendidikan Universitas Negeri Malang, ada enam kriteria guru ideal yaitu:
Belajar sepanjang hayat, literat sains dan teknologi, menguasai bahasa inggris
dengan baik, terampil melaksanakan penelitian tindakan kelas, rajin
menghasilkan karya tulis ilmiah, dan mampu membelajarkan peserta didik
berdasarkan filosofi konstruktivisme dengan pendekatan kontekstual.[6]
Berdasarkan penjelasan di atas, kriteria guru ideal yang seharusnya
dimiliki bangsa Indonesia
era global yaitu:
Pertama, guru ideal adalah guru yang dapat membagi
waktu dengan baik. Dapat membagi waktu antara tugas utama sebagai guru dan
tugas dalam keluarga, serta dalam masyarakat dengan salah satu cara yaitu
mengurangi waktu untuk istirahatnya.
Kedua, guru ideal adalah guru yang rajin membaca.
Membaca tidak terikat waktu, ruang dan tempat. Tidak terikat waktu karena
membaca dapat dilakukan kapan saja, bergantung keinginan dan waktu luang. Tidak
terikat ruang karena membaca dapat dilakukan di ruang apapun, tidak perlu ruang
khusus sepanjang tidak terganggu atau mengganggu pihak lain. Tidak terikat
tempat karena membaca dapat dilakukan di tempat umum. Apakah guru memiliki
budaya membaca? Berapa persen guru yang membaca kebijakan-kebijakan pemerintah
yang tertuang dalam undang-undang maupun peraturan menteri yang terkait dengan
profesi guru dalam dunia pendidikan? Apabila guru membaca hal tersebut di atas,
maka mungkin tidak akan pernah dijumpai guru yang tidak lulus dalam mengikuti
sertifikasi guru.
Guru selalu menuding bahwa minat peserta didik untuk
belajar (membaca) sangat rendah. Bagaimana dengan minat membaca guru? Mungkin
kita perlu memanfaatkan waktu untuk membaca saat antri pengambilan gaji di
bank, di loket pembayaran listrik, rekening telepon, atau loket pembayaran
rekening air. Bahkan memanfaatkan waktu untuk membaca saat di perjalanan dengan
kendaraan umum.
Ketiga, Guru ideal adalah guru yang banyak menulis.
Menulis juga tidak terikat ruang, waktu dan tempat. Pernahkah guru memanfaatkan
waktu untuk menulis dalam jurnal mengajarnya di sela-sela kegiatan mengajar,
sehingga yang dihadapi pada hari itu dapat menjadi sebuah rancangan penelitian
atau bahkan sebuah artikel? Karena dengan menulis kita akan berada di
mana-mana, karya tulis kita akan di baca oleh banyak orang dan dapat juga
dimanfaatkan oleh orang lain sebagai sumber bacaan.
Keempat, Guru ideal adalah guru yang gemar melakukan
penelitian. Cikal penelitian adalah adanya masalah. Seorang peneliti tidak akan
percaya masalah dapat diselesaikan tanpa penelitian. Seorang guru akan selalu
gelisah dengan prestasi dan proses belajar peserta didiknya sehingga guru akan
terus memiliki budaya meneliti. Keempat kriteria sebagai tertulis di atas
merupakan hal yang diperlukan bila seorang guru dapat dikategorikan sebagai
guru ideal.[7]
Jadi, ciri-ciri pendidik ideal itu setidaknya antara
lain:
a)
Serius tapi santai
b)
Suka senyum
c)
Ramah
d)
Bisa diajak bercanda tapi tidak berlebihan
e)
Bisa diajak bercanda tapi tidak berlebihan
f)
Bijaksana
g)
Punya cara mengajar yg unik / metode baru
h)
Punya cara mengajar yg unik / metode baru
Dalam menjalankan tugas sebagai seorang professional guru diharapkan
menjadi sosok yang konsisten terhadap tugas yang diembannya. Mampu menghargai
waktu dalam melaksanakan tugasnya, mampu membedakan mana tugas dan kepentingan
pribadi, mampu menempatkan diri sesuai dengan tugas dan jabatannya. Menjaga
kode etik pendidik, serta mampu melaksanakan empat kompetensi yaitu Kompetensi Keperibadian, Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Profesional dan Kompetensi Sosial.
Di lingkungan pendidikan khususnya disekolah konsistensi seorang guru
sangat dominan dalam mewarnai karakter dan prilaku siswa, guru harus menjadi
tauladan bagi siswa-siswanya. Kejujuran menjadi pelajaran yang tidak perlu
penjelasan. Sejarah masa lampau tentang sikap dan prilaku telah membuktikannya
bahwa pelajaran yang paling berharga adalah suri tauladan sebagai mana yang
dicontohkan para Nabi, Rosul, Sufi, atau Para Wali dan Ulama. Pendidikan sangat
erat sekali dengan hal itu, kecanggihan dan modernisasi teknologi tidaklah
berarti apabila proses pendidikan itu tidak berhasil sesuai dengan Tujuan
Pendidikan Nasional. Namun apabila mampu melakukan itu berarti guru sudah mampu
menjadi seorang pendidik professional yang konsisten.
Ukuran ideal seorang guru
sangat tergantung pada kemampuan dan pengalaman intelektulitasnya. Guru harus
memiliki “skill labour” yaitu tenaga terdidik atau terlatih dengan
kebiasaan-kebiasaan baik, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan subjek didik.
Guru merupakan figur dalam penyuksesan pendidikan bagi anak didik. Tidak cukup
hanya saja, bahkan guru dituntut harus memiliki akhlak yang baik seperti
diajarkan oleh Rasulullah saw.[9]
Muhammad ‘Abd al-Qadir Ahmad
menuturkan bahwa Rasul sosok sang pendidik, para sahabat sebagai subjek didik
kala itu menangkap teladan yang luhur pada dirinya, berakhlak baik, memiliki
ilmu dan memiliki keutamaan dalam semua gerak-geriknya.
Jika seorang pendidik
mempunyai karakter seperti di atas, akan disenangi oleh peserta didik, dengan
sendirinya akan disenangi ilmu yang diajarkannya. Muhammad ‘Abd al-Qadir
mengatakan, “Banyak siswa yang membenci suatu ilmu atau materi pelajaran karena
watak guru yang keras, akhlak guru yang kasar dan cara mengajar guru yang
sulit. Di pihak lain, banyak pula siswa yang menyukai dan tertarik untuk
mempelajari suatu ilmu atau mata pelajaran, karena cara perlakuan yang baik,
kelembutan dan keteladanannya yang indah.”
Tugas ini merupakan suatu
pekerjaan yang berat dan sulit dicapai oleh seseorang, apabila ia tidak
mempunyai karakter pendidik. Seorang pendidik mempunyai sifat-sifat terpuji dan
mampu menyesuaikan diri baik dengan peserta didik maupun dengan masyarakat.
Sikap seperti inilah barangkali yang diketengahkan al-Quran dengan ungkapan Ulul
al-Bab. [10]
B.
Upaya yang harus di lakukan untuk Menjadi
Pendidik yang Professional dan Ideal.
Globalisasi merambat pasti dalam beragam aspek kehidupan
manusia. Dunia pendidikan pun tak luput dari pengaruhnya. Bidang ini sudah
pasti harus melihat kenyataan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan semakin pesat
dan tuntutan di masyarakat pun kian meningkat. Sebagai institusi pembelajaran,
dunia pendidikan dituntut untuk menghasilkan sumber daya manusia yang handal
serta mampu menjawab berbagai tantangan baru di masyarakat dan peradaban
manusia yang mendunia.[11]
Di era global, penidikan sudah tidak bisa dibatasi oleh
ruang bahkan tempat di mana keberadaan peserta didik. Kebiasan mengajar guru
dan siswa yang terlibat proses pembelajaran yang tadinya hanya sebatas di dalam
kelas tetapi saat ini guru harus mampu menciptakan pembelajaran kontektual di
mana lingkungan dan dunia nyata menjadi sarana pembelajaran.
Lebih dari itu guru harus mampu memandang bahwa dunia
adalah bagian dari sebuah pembelajaran yang harus diketahui, dikuasi dan
jadikan bahan ajar para peserta didiknya. Dengan berbagai pasilitas yang
tersedia berupa kecanggihan teknologi komunikasi dan informasi jarak dan waktu
sudah tidak menjadi kendala untuk mengetahui sesuatu. Melalui pasilitas
internet belahan dunia manapun bisa dicari dan diketahui dalam hitungan menit
bahkan detik, kita bisa menghadirkan gambaran tentang sesuatu di alam nyata
pada layar kaca atau LCD monitor komputer dengan jelas.
Cara pandang ini berlaku untuk guru semua jenjang
pendidikan, guru sekolah dasar dan menengah sudah tidak harus dibedakan lagi,
karena dituntut punya kompetensi yang sama walaupun ada beban yang berbeda.
Apakah ada kendala untuk melakukan itu semua? Apakah perangkat teknologi
canggih susah untuk dikuasai atau sekedar dioprasikan? Atau mungkin harga yang
tidak bisa dijangkau semua kalangan, khususnya guru?
Saat ini kesulitan pilihan hidup menjadi pendidik lebih
berat dari masa sebelumnya. Di luar tantangan masalah ekonomi dan gaya hidup materialistis,
hanya seorang guru yang mempertahankan idealisme memfasilitasi anak didiknya
menumbuh kembangkan jati diri yang berkarakter yang bisa mempertahankan
kehormatan sebagai pendidik. Artinya ideal seorang guru harus memberikan
dirinya secara total bagi dunia pendidikan, sebuah keadaan yang berat di tengah
semua persoalan hidup yang harus dihadapi seorang guru. Maka perlu ada strategi
untuk menyiasati beban-beban struktural-administratif kependidikan agar tidak
menjerat guru ke dalam perangkap yang melelahkan sehingga mereka melepaskan
idealisme dan semangat yang dibutuhkan. Strategi ini antara lain adalah
menciptakan kondisi yang memacu untuk terus-menerus belajar.
Guru yang berkualitas selalu mengembangkan
profesionalismenya secara penuh. Dia tak akan merengek-rengek meminta diangkat
sebagai pegawai negeri atau guru tetap sebab pekerjaannya telah membuktikan,
kinerjanya layak dihargai. Mungkin ini salah satu alternatif yang bisa
dilakukan guru untuk mengembangkan dan mempertahankan idealismenya pada masa
sulit. Namun, idealisme ini akan kian tumbuh jika ada kebijakan politik pendidikan
yang mengayomi, melindungi, dan menghargai profesi guru. Pemerintah sudah
seharusnya menggagas peraturan perundang-undangan yang melindungi profesi guru,
tidak peduli apakah itu guru negeri atau swasta, dengan memberi jaminan minimal
yang diperlukan agar kesejahteraan dan martabat guru terjaga.[12]
Sepuluh tahun yang lalu sebuah handphone adalah
sebuah alat komunikasi yang canggih dianggap susah untuk dipergunakan, harga
dianggap mahal karena tidak semua kalangan mampu untuk menjangkaunya. Tetapi
sekarang handphone tidak lagi menjadi sesuatu yang dianggap susah
dioprasikan semua kalangan bisa untuk memilikinya, anak-anak sampai manula bisa
untuk mengoprasikannnya. Ini sebuah gambaran bahwa ketertarikan dan keinginan
yang serius untuk mengetahui, memiliki sesuatu akan mengalahkan kecanggihan dan
mahalnya harga.
Dengan demikian guru yang professional diharapkan mampu
berpikir secara global dengan tidak menghilangan esensi lokalnya. Visi guru
sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter. Menjadi pelaku perubahan,
perubahan itu harus tampil pertama-tama dalam diri guru. Hal inilah yang
menjadi pemikiran dan strategi utama bagi para guru agar mampu menjadi pelaku
perubahan dan pendidik karakter yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat kita dewasa
ini.
Di zaman persaingan ketat seperti sekarang, kinerja
menjadi satu-satunya cara untuk mengukur mutu seorang guru. Karena itu, status
pegawai negeri, swasta, tetap, atau honorer tidak terlalu relevan dikaitkan
gagasan tentang profesionalisme kinerja seorang guru. Di banyak tempat lembaga
swasta yang besar dan maju, status pegawai tetap malah membuat lembaga
pendidikan swasta tidak mampu mengembangkan gurunya secara profesional sebab
mereka telah merasa mapan. Demikian juga yang menjadi pegawai negeri, banyak
yang telah merasa nyaman sehingga lalai mengembangkan dirinya. Oleh
karena itu guru harus kembali pada jati dirinya yaitu memiliki sifat-sifat
tertentu, yaitu ramah, terbuka, akrab, mau mengerti, dan mau belajar
terus-menerus agar semakin menunjukkan jati diri keguruannya.
Situasi ini tidak dapat diatasi dengan mengangkat
seluruh guru honorer menjadi pegawai negeri, seperti tuntutan beberapa kelompok
guru honorer maupun mengangkat guru tidak tetap menjadi guru tetap yayasan.
Masalah ini hanya bisa diatasi jika pemerintah dan
masyarakat memberi prioritas untuk menjaga, melindungi, dan menghormati profesi
guru. Secara khusus, pemerintah harus memberi jaminan finansial secara minimal
kepada tiap guru agar mereka dapat hidup layak dan bermartabat sebagai guru.
Jaminan seperti ini hanya bisa muncul jika ada perlindungan hukum berupa
peraturan perundang-undangan yang benar-benar memihak dan berpihak kepada guru.
Sejauh ini, pemerintah hanya mampu menuntut guru untuk
ikut sertifikasi, tetapi ia gagal memberi penghargaan dan perlindungan atas
profesi guru (ada ketidakseimbangan kuota guru negeri dan swasta, sedangkan
swasta dibatasi kesejahterannya dengan aturan alokasi jam mengajar dan status
kepegawaian). Pemerintah memiliki tugas mulia dalam menyejahterakan nasib guru.
Negara mampu melakukan itu jika ada keinginan politik yang kuat. Kewangan
sosial dan politik pada masa depan akan lebih ringan jika pemerintah mampu
memberi perlindungan dan kemartabatan profesi guru, terutama memberi jaminan
ekonomi minimal agar para guru dapat hidup bermartabat, sehingga mereka dapat
memberi pelayanan bermutu bagi masyarakat dan negara.
Sekarang kembali kepada guru itu sendiri bagaimana cara
menyikapi diri sebagai pendidik yang profesional, untuk itu guru wajib terus
mengembangkan diri di era globalisasi ini, kalau tidak terus mengembangkan
diri, guru bisa tertinggal dari siswanya, meskipun belum terima sertifikat
profesional apalagi sudah terima sertifikat profesional dan TPP sudah
diterima. Tidak ada alasan untuk tidak sempat tapi harus melakukan
sesuatu yang sudah menjadi tuntutan bahwa pengetahuan guru harus selalu terasah
dan up to date.
C.
Kualifikasi Kompetensi Profesional Pendidik
Guru/ pendidik termasuk
salah satu tenaga yang profesional yang memiliki beberapa tugas tertentu. Dalam
UU RI no. 2 tahun 2003 disebutkan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional
yang bertugas 1) merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran; 2) menilai
hasil pembelajaran; 3) melaksanakan pembimbingan dan pelatihan; 4) serta
melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat terutama bagi pendidik
pada perguruan tinggi. Kelihatannya tugas guru sederhana, tapi sejatinya cukup
berat untuk dilaksanakan oleh sebagian guru.[13]
Masalah yang umum
muncul sekarang adalah kelemahan utama yang ada pada guru yang berupa kurangnya
di bidang pengembangan profesi Bagi guru yang telah memenuhi kualifikasi
akademik saja masih banyak kesulitan atau kekurangan kemampuan dalam
pengembangan profesi akademiknya maupun pengembangan profesiny, seperti keikut-sertaan
lomba akademik, penyusunan buku, penulisan artikel di media cetak, dan sepeti
penelitian dan pengabdian masyarakat.. Hal itu (mungkin saja) disebabkan karena
kesualitan dan kemalasan pada diri pribadi guru, sikap egoisme yang berlebihan,
tidak mau bertanya dan belajar. Kendala lainya karena kurang minatnya memebaca
dan menulis, serta lainnya yang intinya minimnya motivasi untuk menciptakan
karya ilmiah yang dapat menunjang profesi guru.
Pendidik profesional
dituntut sedikitnya memiliki tiga kecakapan yaitu pertama, kompetensi kognitif,
yang meliputi pengetahuan kependidikan dan pengetahuan mata pelajaran yang akan
diajarkan guru. Kedua, kompetensi afektif yang meliputi perasaan dan emosi,
yakni sikap dan perasaan diri yang berkaitan dengan profesi keguruan. Dan
ketiga, kompetensi psikomotor, yang meliputi ketrampilan/kecakapan yang
bersifat jasmaniah, yang pelaksaannya berhubungan dengan tugasnya selaku
pengajar. Untuk diakuti sebagai bagian dari kompetensi profesional guru,
ketrampilan (atau kompetensi-kompetensi) itu harus dapat dipraktekkan
berulang-ulang walau bentuknya tidak sama persis tetapi sesering mungkin bukan
hanya kebetulan terjadi satu kali.[14]
Pada bagian lain,
sebagai sebuah profesi, sudah sewajarnya guru diperlakukan secara profesional
sesuai dengan hak-hak profesionalnya, termasuk kesejahteraan. Namun demikian,
guru juga harus menepati kewajiban-kewajiban secara baik, penuh tanggung jawan
dan profesional. Guru juga sebagai pemimpin (manajerial) yang memimpin,
mengendalikan diri, upaya mengarahkan, pengawasan, pengorganisasian,
pengontrolan dan partisipasi atas program yang dilakukan. Di sini guru dituntut
untuk dapat mengatur dan mengelola situasi dan kondisi siswa (di kelas dan di
sekolah) sedemikian rupa agar proses belajar balajar berjalan dengan mulus,
menyenangkan sehingga pemindahan materi ilmu pengetahuan dapat ditrima dengan
baik oleh peserta didik.
Ada dua bentuk strategi keteladanan pada
pendidik, yaitu pertama, yang disengaja dan dipolakan sehingga sasaran dan
perubahan perilaku dan pemikiran anak sudah direncanakan dan ditargetkan, yaitu
seorang guru sengaja memberi contoh yang baik kepada muridnya supaya dapat
menirunya. Kedua, yang tidak disengaja, dalam hal ini guru/pendidik terampil
sebagai figur yang dapat memberikan contoh yang dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, pada umumnya, guru (dosen dan para ahli pendidikan) di negeri ini
mengajarkan kehidupan pragmatis dan konsumtif, maka hasilnya kita menjadi orang
yang sangat mengagungkan semua penyelesaian semua masalah ini dengan cara
pragmatis, insant, tidak mau bersusah payah, tidak mau antri, tidak mau sesuai
prosedur, bahkan beberapa hal kita sudah tidak peduli lagi dengan proses.
Contohnya, Guru menyuguhkan soal dengan format mutiple choice (pilihan ganda)
dengan alasan mudah mengoreksinya.
Oleh sebab itu, guru
yang teladan harus profesional dalam menjalankan segala tugasnya (utamanya)
sebagai pendidik, tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan norma-norma
yang berlaku dan tentunya memiliki setidaknya empat kompetensi, yakni
kompentesi pedagogik, kompetensi akademik, kompetensi sosial dan kompetensi
kepribadian. Dengan kompetensi pedadagoik, memungkinkan guru dapat menggunakan
metode mangajar dan mendidik dengan benar. Kompetensi akademik yang
menggambarkan seseorang memiliki kemampuan beripikir secara ilmiah. Sedangkan
dengan adanya kompetensi sosial dan kepribadian, diharapkan guru memiliki jiwa
sosial, peduli yang tinggi terhadap masyarkat dan juga memiliki karakter dan
moral yang mulia.[15]
Syarat kepemilikan
empat kompetensi di atas, bukanlah persoalan mudah manakala dimaknai tidak
sekadar berdimensi teoretis, tetapi lebih pada dimensi praktis. Kompetensi
pedagogik mengharuskan guru memiliki jiwa pendidik yang mendarah daging.
Artinya, nilai-nilai pendidikan tidak sekadar dihafal secara teoretis, tetapi
telah menjadi bagian dari perilaku dirinya. Begitu pula dengan kompetensi
kepribadian, mengisyaratkan adanya kepemilikan pribadi yang paripurna (insan
kamil). Dengan demikian, diharapkan pribadi guru menjadi personifikasi
nilai-nilai, bukan sekadar kamuflase, sehingga menjadi contoh nyata yang dapat
diteladani siswa.
Kompetensi sosial
tentu bermakna lebih luas lagi. Guru dituntut mampu berperan maksimal dan ideal
dalam berbagai tatanan pergaulan dengan berbagai kalangan dan variasi
pandangan. Kompetensi profesional mengarah pada bidang profesi sehingga relatif
mudah mengukurnya mengingat indikatornya relatif jelas, yakni diukur dari kadar
kemampuan menyangkut bidang profesinya. Misalnya, guru Bahasa Inggris harus
mampu membuat desain pembelajaran bahasa Inggris, mengajarkannya, mengadakan
pengamatan proses, dan mengevaluasinya.
D.
Tantangan Yang Di Hadapi Pendidik Ideal
Menurut Ruslan, ada tiga jenis tantangan
utama yang harus dihadapi dan harus mampu diatasi sosok seorang pendidik dalam
melaksanakan tugas kependidikannya, yakni: tantangan umum, tantangan sosial
ekonomi dan tantangan profesi
di lembaga pendidikan dalam menghidupi diri dan keluarganya. Untuk mengatasi
ketiga tantangan tersebut tidaklah bijak jika seluruh upaya dibebankan hanya di
atas pundak pendidik saja, tetapi wajib melibatkan partisipasi penuh dari pihak
pemerintah, orang tua peserta didik dan masyarakat pada umumnya. Ketidakmampuan
sosok seorang pendidik dalam mengatasi ketiga jenis tantangan tersebut akan
mengakibatkan rendahnya kualitas lulusan dan kualitas pendidikan pada umumnya,
serta menurunnya nilai-nilai peradaban bangsa di masa depan.[16]
Memang, dalam
masalah ekonomi, seorang pendidik juga membutuhkan pemenuhan kesejahteraan agar
ia tidak kesulitan untuk membentuk kualitasnya sebagai seorang pengajar.
Bagaimana mungkin seorang guru akan membaca buku-buku dan belajar giat untuk
menambah stock of knowledge jika untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
saja tidak cukup. Padahal, apabila seorang pendidik mengetahui sejumlah ilmu
pengetahuan yang luas, maka guru seharusnya bisa menjadi teladan bagi peserta didik,
karena pada dasarnya pendidik adalah representasi dari sekelompok orang pada
suatu komunitas atau masyarakat yang diharapkan dapat digugu dan ditiru,
diikuti dan dicontoh.
Oleh karena itu,
agar proses pembelajaran berhasil dan mutu pendidikan meningkatkan, maka
diperlukan guru yang memahami dan menghayati profesinya, dan tentunya guru yang
memiliki wawasan pengetahuan dan keterampilan sehingga membuat proses
pembelajaran aktif, pendidik mampu menciptakan suasana pembelajaran inovatif,
kreatif, dan menyenangkan. Untuk menjadi pendidik profesional juga memerlukan
pendidikan dan pelatihan serta pendidikan khusus.
Motivasi lain yang
mendorong perlunya dilakukan berbagai bentuk pendidikan dan pelatihan, karena
informasi diperoleh bahwa masih banyak daerah-daerah yang belum menjadikan
pendidikan dan pelatihan terhadap guru sebagai sesuatu kebutuhan mendasar.
Bahkan masih ada kita mendengar guru-guru yang belum pernah sekalipun mengikuti
pendidikan dan pelatihan terutama guru-guru yang bertugas di daerah marjinal
atau terpencil. Banyak guru bantu dan sukarela mengabdi di sekolah dengan honor
yang sangat tidak mencukupi, bahkan ada yang tidak mendapat gaji /tunjangan
apapun. Karena sangat terbatasnya fasilitas-fasilitas belajar mengajar di
pelosok desa, tentu saja mempengaruhi terhambatnnya pengembangan kompetensi
profesional pada guru. Akan tetapi terlepas dari segala kekurangan yang ada,
pengorbanan para guru di pedalaman ini pantas mendapat penghargaan khusus dari
berbagai pihak.
Pesatnya perkembangan ekonomi dan sosial ke depan tentu menjadi tantangan tersendiri bagi lembaga pendidikan dan guru. pendidik masa datang, menurut salah satu laporan OECD-UNESCO, harus memiliki kompetensi yang lebih profesional ketimbang eksistensi mereka saat ini. Tantangan ini jelas merupakan kenyataan yang tidak mudah bagi dunia pendidikan Indonesia, mengingat begitu banyaknya problematika guru dari mulai tingkat kesejahteraannya, kompetensi, profesionalitas, dan visi yang harus mereka tuju.
Pesatnya perkembangan ekonomi dan sosial ke depan tentu menjadi tantangan tersendiri bagi lembaga pendidikan dan guru. pendidik masa datang, menurut salah satu laporan OECD-UNESCO, harus memiliki kompetensi yang lebih profesional ketimbang eksistensi mereka saat ini. Tantangan ini jelas merupakan kenyataan yang tidak mudah bagi dunia pendidikan Indonesia, mengingat begitu banyaknya problematika guru dari mulai tingkat kesejahteraannya, kompetensi, profesionalitas, dan visi yang harus mereka tuju.
Pemberian sertifikasi profesional pendidik merupakan
langkah nyata pemerintah dalam menghargai sebuah pekerjaan mulia. Tetapi dengan
penghargaan itu pendidik dihadapkan dengan tugas dan kewajiban yang semakin
berat. Tentu cara pandang manusia bisa berbeda, dalam hal ini gurupun tidak
semua mempunyai pandangan yang sama walaupun memandang obyek yang sama. Apabila
pandangan itu melihat dari sudut yang positif maka apapun tugas dan kewajiban
yang diberikan sejauh itu dilandasi dengan aturan yang jelas itu merupakan
suatu tantangan yang mesti dihadapi dan diselesaikan.
Cukup mahal pemerintah memberikan finansial kepada
seorang pendidik professional, maka pendidik diharapkan mampu untuk menghadapi
tantangan baru khususnya menyangkut perkembangan teknologi dan informasi yang
senatiasa merambat pasti pada area dunia pendidikan.
Tantangan profesionalisme pendidik pada saat ini adalah
revolusi teknologi informasi yang harus mampu dipecahkan secara mendesak.
Adanya perkembangan teknologi informasi yang demikian akan mengubah pola
hubungan guru-murid, teknologi instruksional dan sistem pendidikan secara
keseluruhan. Kemampuan guru dituntut untuk menyesuaikan hal demikian itu.
Adanya revolusi informasi harus dapat dimanfaatkan oleh bidang pendidikan
sebagai alat mencapai tujuannya dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat.
Untuk itu, perlu didukung oleh suatu kehendak dan etika yang dilandasi oleh
ilmu pendidikan dengan dukungan berbagai pengalaman para praktisi pendidikan di
lapangan. [17]
Perkembangan teknologi (terutama teknologi informasi)
menyebabkan peranan sekolah sebagai lembaga pendidikan akan mulai bergeser.
Sekolah tidak lagi akan menjadi satu-satunya pusat pembelajaran karena
aktivitas belajar tidak lagi terbatasi oleh ruang dan waktu. Peran guru juga
tidak akan menjadi satu-satunya sumber belajar karena banyak sumber belajar dan
sumber informasi yang mampu menfasilitasi seseorang untuk belajar.
BAB
III
KESIMPULAN
Pendidik, memegang peranan yang sangat penting dan
strategis dalam upaya membentuk watak bangsa dan mengembangkan potensi siswa
dalam kerangka pembangunan pendidikan di Indonesia. Tampaknya kehadiran guru
hingga saat ini bahkan sampai akhir hayat nanti tidak akan pernah dapat
digantikan oleh yang lain, terlebih pada masyarakat Indonesia yang
multikultural dan multibudaya, kehadiran teknologi tidak dapat menggantikan
tugas-tugas guru yang cukup kompleks dan unik.
Oleh sebab itu, diperlukan pendidik yang
memiliki kemampuan yang potensial untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional
dan diharapkan secara berkesinambungan mereka dapat meningkatkan kompetensinya,
baik kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, maupun professional
Pendidik yang berkualitas selalu mengembangkan
profesionalismenya secara penuh. Dia tak akan merengek-rengek meminta diangkat
sebagai pegawai negeri atau guru tetap sebab pekerjaannya telah membuktikan,
kinerjanya layak dihargai. Mungkin ini salah satu alternatif yang bisa
dilakukan guru untuk mengembangkan dan mempertahankan idealismenya pada masa
sulit. Namun, idealisme ini akan kian tumbuh jika ada kebijakan politik
pendidikan yang mengayomi, melindungi, dan menghargai profesi pendidik.
Pemerintah sudah seharusnya menggagas peraturan perundang-undangan yang
melindungi profesi guru, tidak peduli apakah itu guru negeri atau swasta,
dengan memberi jaminan minimal yang diperlukan agar kesejahteraan dan martabat
guru terjaga.
Ada tiga jenis
tantangan utama yang harus dihadapi dan harus mampu diatasi sosok seorang
pendidik dalam melaksanakan tugas kependidikannya, yakni: tantangan umum,
tantangan sosial ekonomi dan tantangan profesi di lembaga pendidikan dalam
menghidupi diri dan keluarganya. Untuk mengatasi ketiga tantangan tersebut
tidaklah bijak jika seluruh upaya dibebankan hanya di atas pundak pendidik
saja, tetapi wajib melibatkan partisipasi penuh dari pihak pemerintah, orang
tua peserta didik dan masyarakat pada umumnya. Ketidakmampuan sosok seorang
pendidik dalam mengatasi ketiga jenis tantangan tersebut akan mengakibatkan rendahnya
kualitas lulusan dan kualitas pendidikan pada umumnya, serta menurunnya
nilai-nilai peradaban bangsa di masa depan.
Tantangan profesionalisme guru pada saat ini adalah
revolusi teknologi informasi yang harus mampu dipecahkan secara mendesak.
Adanya perkembangan teknologi informasi yang demikian akan mengubah pola
hubungan guru-murid, teknologi instruksional dan sistem pendidikan secara
keseluruhan. Kemampuan guru dituntut untuk menyesuaikan hal demikian itu.
Adanya revolusi informasi harus dapat dimanfaatkan oleh bidang pendidikan
sebagai alat mencapai tujuannya dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat.
Untuk itu, perlu didukung oleh suatu kehendak dan etika yang dilandasi oleh
ilmu pendidikan dengan dukungan berbagai pengalaman para praktisi pendidikan di
lapangan.
[1] Hasan Langgulung. Manusia dan
Pendidikan; Suatu analisa Psikologi dan Pendidikan,( Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995),
hlm. 78
[2]
Undang-Undang SISDIKNAS No. 2
Tahun 1989 pasal 4.
[3]
http://sdnpinayungan8.blogspot.com/2009/08/tantangan-guru-profesional-dan-ideal-di.html
[4] Ahmad Tafsir. Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam,
(Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992). Hlm. 120
[6]
http://www.koranpendidikan.com/artikel/805/menelusuri-kriteria-guru-ideal-abad-21.html
[7]
Ibid.
[9] Azyumardi Azra. Esei-Esei
Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, cet. 1, (Jakarta: Logos, 1998). Hlm. 98
[10]
Ibid, hlm. 105
[11]
http://sdnpinayungan8.blogspot.com/2009/08/tantangan-guru-profesional-dan-ideal-di.html
[12]
Ibid.
[13]
Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2003 Tentang
SISDIKNAS, (Bandung: Citra Umbara, 2003), hlm. 27
[14]
M. Arifin, Opcit, hlm.
130.
[15]
http://sdnpinayungan8.blogspot.com/2009/08/tantangan-guru-profesional-dan-ideal-di.html
[16]
http://www.koranpendidikan.com/artikel/805/menelusuri-kriteria-guru-ideal-abad-21.html.
[17]
Ibid.
Langganan:
Postingan (Atom)